Berapa kali kukerjap mataku, bayangan itu tetap ada. Tidak, ini bukan bayanganku. Aku tidak sedang bermimpi. Sean memang berdiri di hadapanku. Tapi, demi Tuhan, aku tidak mengerti… Jantungku terasa berhenti sejenak, napasku tercekat. Lidahku kaku. Aku hanya bisa bergeming, memandanginya. Entah sudah berapa lama, hingga akhirnya pemuda itu memecah kecanggungan.
“Selamat malam?”
Lagi, mataku mengerjap. “Ya,” balasku akhirnya. “Selamat malam, Sean.” Dengan sisa tenaga dan kesadaran yang kumiliki, aku bergeser kecil, memberinya ruang untuk masuk. “Masuklah, sepertinya akan hujan.”
Tak perlu perintah dua kali, ia bergegas masuk. Ia mendahuluiku menuju ruangan kami. “Di mana aku harus berpose, Tuan?”
Sekali lagi, aku berdiam, menikmati pemandangan di depanku: tubuh tinggi Sean yang terbalut gaun putih polos renda, lengannya panjang dan mengembang di bagian pundaknya. Terdapat beberapa aksen pita terurai di bagian dadanya. Renda-renda menghiasi tepi lengan dan roknya. Manik mataku bergerak ke atas; Sean membubuhkan warna kemerahan di pipi putih nan lembutnya dan sedikit merah di bibirnya.
“Kau sering melamun belakangan ini,” suara Sean, terkekeh. “Apa aku terlihat aneh?”
“Tidak,” desisku, tak berkedip. “Itu… sangat bagus.”
Tidak. Lebih tepatnya, ia indah. Sangat indah.
Semburat malu menjalari wajah dan telinganya. “Terima kasih.”
Aku mengangguk singkat dan berdehem. “Duduklah di sana,” tunjukku pada sofa panjang yang sudah kusediakan. Aku kembali pada tempatku, bersama kanvasku. “Untuk posisimu… kuserahkan padamu.”
“Ah, tunggu. Aku tidak bisa berpose. Bagaimana kalau hasilnya tidak bagus?”
Mana mungkin. Kau indah, Sean. “Kau meragukan keahlianku?”
Sean terdiam, menggeleng gugup. “Tidak…” Tanpa banyak bertanya lagi, ia segera duduk. Ditatanya tumpukan bantal sofa itu di sisi kirinya, ia gunakan untuk menumpu sikunya. Rautnya tampak menimbang-nimbang sejenak, sebelum akhirnya ia mengubah posisi duduk tegaknya, menjadi sepenuhnya bertumpu pada siku kirinya. Kakinya ia silangkan, membuat roknya sedikit tersibak pamerkan betis putih dan sepatu heels cokelatnya. “Bagaimana?”
Senyuman terukir di bibirku. “Sempurna.” Aku segera memulai kegiatanku. “Omong-omong, Sean, dari mana kau mendapatkan gaun itu?”
“Ini milik mendiang ibuku. Lalu Bram membawanya ke tempat jahit langganannya dan memodifikasinya agar pas denganku.”
“Begitu…,” responku. “Bram sangat memperhatikanmu.”
“Dia anak yang manis, begitu juga Theo. Mereka berdua teman — ah, bukan, adik-adikku. Bram yang cerewet, usil, dan kekanakan; Theo yang tenang dan dewasa. Sangat bertolak belakang, ya? Tapi anehnya, mereka cocok sekali, seperti satu paket. …”
Selanjutnya aku tak mendengarkan ocehannya. Pikiranku terlanjur fokus pada kakinya yang mengayun-ayun lucu selama ia berbicara, yang mana membuat roknya semakin tersingkap. Dari betis, naik ke paha. Tatapanku naik ke perutnya, lalu ke leher bersihnya yang terekspos — terima kasih pada kerah rendah gaunnya. Tanpa sadar, tanganku meremat kuat kuas, bergetar.
Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti. Apa yang salah pada diriku? Pikiranku? Dadaku lagi-lagi berdentum riuh; bibir itu tampak manis untuk dicumbu. Manik gelapnya gemerlap indah, pantulkan cahaya kekuningan dari lampu, pancarkan keluguan dan antusiasme yang mengiringi setiap hembus celotehnya. Bagaimana jika… tubuh itu kujamah? Kusentuh?
Tidak. Dalam hati, kutampar wajahku sekeras mungkin. Jangan bodoh, Yohan. Dia seorang laki-laki! Jangan tergoda oleh wujud indahnya.
Tapi, ia memang indah. Dan itu tak terelakkan. Tak sanggup kumungkiri.
Tapi, ini salah. Ia salah, tak seharusnya ia begini. Sean adalah seorang laki-laki; sudah seharusnya ia seperti laki-laki. Ini salah. Aku salah, tak seharusnya tubuhku bereaksi seperti ini. Aku adalah seorang laki-laki; sudah seharusnya ketertarikanku hanya untuk perempuan.
“Tuan Yohan?”
Aku berdiri dengan kasar, hingga kursiku terdorong mundur dengan derit yang memekakkan telinga. Sean tersentak kaget. Terlebih saat kuletakkan kuasku dengan asal. Langkahku mendekatinya, berlutut tepat di hadapannya.
“Tuan — ”
Dalam satu gerakan tangkas, kutarik wajah itu mendekat bersamaan denganku memajukan wajah. Kubungkam ia dengan bibirku, dengan cumbuan dalam yang sedikit menuntut. Tangannya refleks mencengkram kerah kemejaku; mengerang lembut seraya berusaha mengimbangi lidahku. Aku yakin benang-benang saliva terbentuk ketika kutarik mundur wajahku.
Tanganku bergerak usap pahanya, menyelinap ke balik gaun. Kurasakan tubuh Sean menegang di bawah sentuhanku. Sama halnya denganku, tubuhku meremang. Memanas. Libidoku meninggi.
“Sean, kau begitu indah, kau tahu?”
Reaksinya benar-benar membuat dadaku sesak oleh rasa bangga. Bagaimana tubuh itu haus akan sentuhanku, kulit putihnya memerah oleh nafsu. Aku menyukainya. Bagaimana ia menyambutku tatkala tubuhku merangkak naik ke atasnya.
Persetan dengan semuanya. Aku tidak sanggup menahan diri. Akal sehatku tumpul.
Gemuruh langit menggelitik telingaku, hingga tanpa sadar kutolehkan kepala pada jendela, seolah menegur keras Dewa Langit yang berani mengganggu tidur malaikat di rumahku. Ya, aku masih di sini. Di sofa, merengkuh tubuh Sean yang polos bagai bayi baru lahir. Dengkurannya perlahan hilang, terganti dengan kerutan di dahi. Perlahan, ia membuka matanya.
“Selamat pagi,” sapaku.
“Apa?” Tubuhnya menegang, panik. Dengan cepat kutahan sambil terkekeh.
“Tidak, tidak. Ini masih malam. Aku hanya bercanda.”
“Oh…” helanya lega. Sean mengobservasi sekitar. “Berapa lama aku tertidur?”
“Entahlah… Kurasa belum lama,” jawabku. “Kau masih berkeringat.”
Wajahnya memerah. Sean tersenyum malu seraya menunduk. “Diamlah. Aku harus pulang sebelum hujan.”
Sayangnya, hujan langsung turun. Cukup deras. Sean menghela napas kasar, buatku tersenyum dan eratkan lenganku di pinggangnya. “Tidak ingin bermalam saja?”
“Ayahku akan mencariku. Dan juga Bram.”
“Kalau begitu, tunggulah sebentar sampai reda.”
Ragu, akhirnya ia menurut. Jemarinya mainkan rambutku, membiarkanku tenggelamkan wajah pada ceruk lehernya. Kuciumi pundaknya, ia balas dengan kecupan lembut di kening. Rasanya hangat, nyaman. Aku tak ingin beranjak. Aku ingin terlelap dengannya sampai kapapun, sampai mati — aku tak masalah.
Tiba-tiba, ia bersuara pelan. “Ini… pertama kalinya untukku.”
Aku mendengung. “Aku juga.”
“Dengan seorang laki-laki?”
Mau tak mau aku mendongak. “…Ya.”
Dapat kulihat bibir itu tersenyum getir. Ia mengangguk. “Jadi, aku adalah salah satu teman tidurmu…”
“Oh, sayangku.” Kukecup singkat bibirnya. Ibu jariku mengusap lembut pipinya, netraku menatapnya dalam. “Aku tidak seperti bayanganmu. Itu adalah kebodohanku di masa lalu. Dan kau… kau bukan hanya teman tidurku. Aku… aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku.” Aku menuntun satu tangannya ke dadaku, tepat pada jantungku. “Kau bisa merasakannya? Ini sangat berisik setiap kau ada bersamaku. Tapi, aku menikmatinya.”
Sean mengerjap lugu. “Seperti… jatuh cinta?”
“Ya,” bisikku. Senyumku kian lebar, tatapanku jatuh mendamba.
Cinta. Tak pernah terlintas kata itu dalam benakku. Tak pernah juga kubayangkan kata itu akan berada dalam satu kalimat dengan namaku. Aku selalu menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang rumit dan berat, yang akan membuat waktuku sia-sia. Tetapi, tak kusangka… sehangat ini. Tidak ada salahnya mencoba, kan?
Dalam satu tarikan napas dramatis, kulumat sekali lagi bibir cantiknya. Kutarik tangannya, kukecup punggung tangannya. Asyik dalam pikiranku sendiri, aku tertawa. Mengangguk afirmatif.
“Ya, Sean. Aku jatuh cinta. Padamu.”
Jatuh cinta memang indah, tetapi berat untukku — untuk kami. Bagaimana kami harus bersikap biasa di depan khalayak. Menahan keinginan untuk genggam tangannya, usap wajahnya, kecup bibirnya, atau bahkan hanya lontarkan rayuan kecil untuknya. Juga, aku tidak suka melihat Sean memaksa dirinya untuk bertingkah seperti apa yang orang lain harapkan dari seorang laki-laki.
Tetapi, setidaknya, kami memiliki tempat di mana dunia hanya milik kami berdua.
“Aku rindu melihatmu dengan gaun,” ucapku, nikmati semilir angin sore di tebing — seperti biasa.
“Ya?” Sean menoleh, abaikan novel di tangannya. Tanganku menggenggam miliknya.
“Kapan kau akan merias diri lagi untukku?”
Yang kudapat malah wajahnya yang berpaling. Telinganya merah. “Lain kali.”
“Hmm, atau kau berpura-pura jadi wanita dan ikut denganku ke pesta dansa, misalnya?”
Refleks, pemuda itu tergelak atas ide bodohku. “Gila. Tubuhku tidak semungil perempuan. Orang lain akan tahu.”
“Hahaha, benar juga. Lagipula, aku juga tidak mau membagi sisi indahmu pada yang lain,” celotehku. Kedua alisku naik-turun dengan senyum bangga dan menggoda. Sean memutar matanya malas, memilih lanjut membaca. Tetapi, aku tak juga berhenti. “Kau tahu? Saat aku melihat lukisanmu pertama kali, aku berpikir, bakatmu bagaikan batu pemata yang belum dipoles.”
“Hmm, begitu?”
“Ya. Tapi, sekarang aku merasa pemikiran itu bodoh.”
Sesuai dugaanku, Sean tampak terkejut. Lalu menoleh dengan raut bingung sekaligus tak percayanya. “Maksudmu?”
“Aku bodoh. Untuk apa aku mengajarimu tentang karya seni, padahal kau adalah karya seni itu sendiri.”
Setelahnya, kurasakan buku tebal mencium wajahku.
Langit sudah sepenuhnya gelap tatkala kupijakkan kaki pada kediaman keluargaku. Namun, aku merasakan ada yang aneh di sini. Bagaimana para pelayan melayangkan pandangan tak nyaman padaku. Apa ada kotoran kuda di pakaianku? Entah, aku ingin menyingkirkan pikiran burukku itu. Aku ingin segera ke kamar.
“Yohan.” Suara rendah nan berat menahan langkahku, tepat saat kakiku menginjak anak tangga pertama. “Dari mana saja kau?”
Aku menoleh, itu ayahku. “Seperti biasa, berkuda.”
“Sendirian?”
“Dengan temanku.”
“Siapa?”
Aku mengernyit tak suka. “Sejak kapan kau mempermasalahkan dengan siapa aku berteman? Dia orang biasa, apa itu masalah?”
Lelaki yang berusia dua kali lipat di atasku itu menggeleng. “Aku tidak masalah dengan statusnya. Tapi, siapa dia?”
Kutahan rasa ingin mendengus kasar, bagaimanapun aku harus menjaga sikap di hadapannya. Kakiku turun, tumitku memutar agar aku bisa menatapnya lurus. “Sean. Dulu, dia muridku.”
Ayah bergeming. Kemudian, ia menghela napas berat. “Kau berhutang penjelasan padaku, Yohan. Ada rumor bahwa kau menjalin hubungan dengan lelaki yang bernama Sean itu.”
Tubuhku meremang.
bersambung
komentar anonim di sini